Stadion Juventus

Rp13 T Juventus: Belanja Besar, Hasil Scudetto Nol

Sportsbooks.live – Sejak merengkuh Scudetto Serie A kesembilan secara beruntun pada tahun 2020 di bawah arahan Maurizio Sarri, Juventus memasuki periode yang aneh dan penuh turbulensi. Klub yang dikenal dengan manajemen yang rapi dan transfer cerdas ini tiba-tiba seolah kehilangan kompas. Ambisi untuk memperluas dominasi domestik menjadi kejayaan di level Eropa, khususnya Liga Champions, mendorong manajemen lama untuk mengambil risiko finansial besar.

Dalam kurun waktu lima tahun terakhir sejak gelar liga terakhir itu, klub asal Turin tersebut telah menggelontorkan dana yang masif, dilaporkan mencapai hampir €800 juta (sekitar Rp13,7 triliun) hanya untuk aktivitas transfer. Secara teori, angka investasi sebesar ini seharusnya cukup untuk memperkuat fondasi sebuah tim super yang disegani di seluruh benua. Namun, kenyataannya jauh dari harapan. Lima tahun berlalu tanpa adanya gelar Serie A baru, dan yang lebih menyakitkan, tanpa pencapaian signifikan di kancah Liga Champions. Yang tersisa hanyalah tumpukan investasi mahal yang tak pernah berbuah manis dan publik Turin yang mulai kelelahan.

Kini, pertanyaan yang menggantung di udara Old Lady bukan lagi tentang siapa yang akan dibeli, tetapi: Di mana letak kesalahan dalam alokasi dana yang begitu besar?


Analisis Neraca Keuangan: Belanja Besar, Untung Kecil

Data keuangan Juventus pasca-2020 menyajikan gambaran yang mengkhawatirkan. Menurut laporan dari media olahraga Italia, klub telah menghabiskan lebih dari €750 juta di pasar pemain, belum termasuk biaya bonus dan komisi yang semakin membebani kas klub. Ironisnya, aktivitas penjualan pemain hanya mampu menyeimbangkan neraca sekitar €600 juta. Ini menunjukkan adanya defisit signifikan dalam arus kas transfer, yang diperburuk oleh beberapa faktor struktural.

1. Fenomena Gaji Mati (Deadwood Salary)

Salah satu kesalahan terbesar Juventus dalam periode ini adalah kegagalan untuk menjual pemain yang dibeli dengan harga mahal atau diberi gaji tinggi, namun gagal menunjukkan performa yang sepadan. Pemain-pemain ini, yang terkadang duduk di bangku cadangan atau dipinjamkan, terus menjadi beban besar pada anggaran gaji klub. Kontrak-kontrak ‘warisan’ yang berat ini mempersulit upaya klub untuk merestrukturisasi keuangan, memaksa mereka untuk mempertahankan pemain yang secara teknis tidak lagi dibutuhkan.

2. Keuntungan Langka dari Penjualan

Keuntungan besar yang tercatat dalam neraca penjualan hampir seluruhnya berasal dari transfer satu pemain yang berhasil memaksimalkan nilai jualnya, yaitu Matthijs De Ligt. Penjualan bek asal Belanda itu ke klub seperti Manchester United (dikabarkan senilai €67 juta pada 2022) menjadi salah satu dari sedikit titik terang finansial dalam periode gelap tersebut. Namun, ketergantungan pada penjualan pemain kunci seperti De Ligt, atau sebelumnya Cristiano Ronaldo, menunjukkan bahwa klub gagal menciptakan siklus berkelanjutan di mana investasi jangka pendek menghasilkan keuntungan teknis maupun finansial.


Investasi yang Keliru: Mencari Arah di Tengah Kekacauan

Periode pasca-2020 diwarnai oleh serangkaian transfer mahal yang gagal menghasilkan dampak yang diharapkan. Ketika ambisi Liga Champions menguasai nalar, Juventus cenderung mengejar galactico atau pemain dengan profil tinggi yang tidak selalu cocok dengan filosofi tim yang terus berubah.

Meskipun banyak transfer berhasil di musim-musim sebelumnya (seperti Federico Chiesa dan Manuel Locatelli), ada beberapa investasi yang kemudian menjadi beban berat:

  • Pemain dengan Kontrak Mahal Tanpa Kontribusi: Beberapa pemain didatangkan dengan status bebas transfer (free transfer), namun menuntut gaji yang sangat besar, dan ketika performa mereka menurun, sulit untuk dilepas. Hal ini menciptakan dilema finansial yang pelik, di mana pemain yang tidak berkontribusi justru menjadi yang paling mahal untuk dipertahankan atau dihentikan kontraknya.
  • Investasi Tengah yang Hilang: Upaya untuk merevitalisasi lini tengah melalui transfer yang menelan biaya signifikan seringkali gagal. Lini tengah, yang menjadi motor dominasi Juventus era 2010-an, menjadi titik lemah utama tim, meskipun manajemen telah berulang kali mencoba memperbaikinya dengan dana besar.

Lingkaran Kegagalan dan Stabilitas Pelatih

Investasi yang keliru ini berkorelasi langsung dengan ketidakstabilan di bangku cadangan. Sejak Sarri meraih Scudetto 2020, kursi pelatih di Turin telah menjadi simbol kekacauan manajemen dan hilangnya identitas tim.

Dalam periode singkat setelah 2020, Juventus telah melalui serangkaian pergantian kepemimpinan teknis yang membuat skuad kehilangan arah:

  1. Andrea Pirlo (2020-2021): Ditunjuk tanpa pengalaman melatih tim senior, proyek Pirlo adalah upaya radikal untuk mengubah gaya bermain. Hasilnya adalah finis di posisi keempat yang mengecewakan.
  2. Massimiliano Allegri (Kembali 2021-2024): Kembalinya Allegri diharapkan membawa stabilitas dan DNA pemenang, namun ia kesulitan beradaptasi dengan skuad yang mahal namun tidak seimbang.
  3. Thiago Motta & Igor Tudor (2024-2025): Pergantian manajer dalam waktu singkat, seperti yang terjadi ketika Igor Tudor diangkat dan kemudian dipecat setelah serangkaian hasil buruk, termasuk rentetan delapan laga tanpa kemenangan, menunjukkan manajemen panik.

Setiap pergantian pelatih membawa strategi baru, tuntutan taktis yang berbeda, dan kebutuhan akan pemain baru, yang semuanya semakin memperparah tumpukan investasi yang tidak terkoordinasi. Para pemain kehilangan arah, strategi berganti tanpa identitas yang jelas, dan atmosfer di ruang ganti menjadi rapuh.

Baca Juga : Fokus Barcelona Pulihkan Performa Lamine Yamal di Tengah Sorotan


Harapan Baru: Strategi ‘Next Gen’ Sebagai Solusi Finansial

Di tengah semua kesulitan finansial dan teknis, Juventus menemukan solusi cerah dari akademi mereka sendiri, melalui tim Next Gen (tim B/U-23). Mempromosikan pemain muda dari akademi kini dianggap sebagai jalan keluar yang paling realistis untuk bertahan dan menyeimbangkan neraca keuangan klub, sekaligus membangun identitas baru.

Nama-nama muda seperti Kenan Yildiz telah menjadi simbol harapan baru ini. Yildiz, dengan bakat dan potensi besarnya, kini dianggap tak tersentuh di bursa transfer. Kontribusi teknisnya di lapangan datang dengan biaya gaji yang jauh lebih rendah, memberikan value luar biasa bagi klub.

Selain itu, investasi yang terukur dan berorientasi masa depan, seperti pembelian Khephren Thuram seharga €20 juta, mulai menunjukkan hasil. Thuram, yang telah menunjukkan peningkatan performa signifikan, kini dianggap memiliki nilai pasar yang jauh lebih tinggi dan menjadi aset berharga. Ini menunjukkan bahwa ketika investasi dilakukan dengan bijak dan terarah, klub masih mampu menumbuhkan nilai pemain di pasar transfer.

Mencari Jalan Pulang: Lebih dari Sekadar Uang

Kini, lebih dari sekadar uang, Juventus membutuhkan arah yang jelas dan konsisten. Di Turin, pembicaraan sudah tidak lagi berputar soal besaran investasi, tetapi tentang kepercayaan—kepercayaan dari suporter yang mulai letih dengan janji-janji kosong, dan kepercayaan dari pemain terhadap proyek yang stabil.

Fokus harus dialihkan dari belanja mahal ke pembangunan struktural. Kedatangan sosok-sosok baru di jajaran eksekutif, strategi transfer yang berfokus pada keseimbangan skuad alih-alih nama besar, serta yang paling penting, pemilihan pelatih berikutnya, akan menjadi penentu.

Juventus hanya akan kembali menjadi “La Signora” yang disegani di Italia dan Eropa bila mereka mampu mengubah kegagalan investasi masa lalu menjadi pelajaran berharga untuk masa depan. Hingga saat itu tiba, setiap euro yang dibelanjakan, yang mencapai angka fantastis Rp13,7 triliun, tetap akan dihitung sebagai harga mahal dari ambisi yang belum terwujud dan sebuah peringatan keras bahwa uang tidak selalu identik dengan kejayaan.

Comments (1)

  1. Bayern Bidik Fisnik Asllani, Calon Pewaris Tahta Kane – Sportbooks

    […] Baca Juga : Rp13 T Juventus: Belanja Besar, Hasil Scudetto Nol […]

Leave a Reply

You must be logged in to post a comment.